» » Sajak Nopember

Sajak Nopember

Penulis By on Kamis, 05 Februari 2015 | No comments

SAJAK NOPEMBER 
Oleh :
 

Sapardi Djoko Damono
Siapa yang akan berbicara untuk kami 
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini 
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur 
yang berjejal 
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami 
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan 
siapa yang akan berbicara atas nama kami 
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan 
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan 
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami 
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana 
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus 
tanpa dicatat namanya 
kepada Ibu yang lebih besar dan agung : 
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah 
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus 
untuk pergi lebih dahulu 
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami 
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami 
mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik 
tanpa mengeluh serta putus asa
di Solo dua orang dalam satu kuburan 
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan 
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan 
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik 
tapi katakanlah kepada anak cucu kami; 
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu 
bertimbun dalam satu lobang 
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur yang paling besar telah ditabuh 
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami 
terompet yang paling lantang ditiup 
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu 
kami pun bangkit dari kubur 
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah 
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan 
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati 
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka 
dan hari depan, sudah itu : mati
orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu 
tanpa tahu siapa kami ini 
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus 
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal 
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah 
dan sudah itu : mati
siapa berkata bahwa kami telah musnah 
siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar 
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah 
di ladang dan di laut, meskipun kalian 
tiada menyadari kehadiran kami
siapa berkata bahwa kami telah musnah 
siapa berkata
tanah air adalah sebuah landasan 
dan kami tak lain baja yang membara hancur 
oleh pukulan 
ialah kemerdekaan
kemarin giliran kami 
tapi besok mesti tiba giliranmu 
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih 
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak 
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah baja yang membara di atas landasan 
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan 
(mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara, paman  dan bapa 
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak 
ingat untuk apa kamu pergi 
siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam 
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia 
ingat kenapa kami tak kembali
begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan 
apa saja untuknya 
jawablah : ya 
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa 
jawab lagi : ya
sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari 
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur 
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan 
bahasa dan kehendak kami 
sudah kau dengarkah  suara napas kami 
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur 
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali 
selalu dan selalu berkelahi lagi
mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak 
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak 
tapi toh tak ada bedanya: 
kami telah memulainya 
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
dan memang tak ada bedanya : 
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan 
bagimu adalah awal pertaruhan 
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi 
meski kami pernah kau kenal atau tidak 
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani 
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik 
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung 
lantaran satu harapan yang pasti 
walau tak pernah kembali
kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda 
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama 
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami 
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan 
mengeluarkan ampun 
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi 
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini 
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati 
kami telah mati 
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini 
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami 
kami telah berkelahi; dan mati 
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami 
dan mengatakannya kepada siapa pun 
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami 
yang telah mati pagi sekali 
dan berjalan tanpa nama dan tanda 
dalam satu lobang kubur 
kami telah lahir dan selalu lahir 
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah 
selalu dan selalu berkelahi 
di mana dan kapan saja
biarkan kami bicara lewat suara anak-anak 
yang menyanyikan lagu puja hari ini 
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana 
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar 
atas rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami bicara hari ini 
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja 
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
Gelora 
Th III, No 19 
( Nopember 1962)
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya